Kondisi perekonomian
pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepanjang lima tahun
berkuasa adalah kemampuannya membalikkan kondisi dari penurunan apresiasi
publik menjadi peningkatan yang terjadi secara drastis hanya satu tahun
terakhir masa kekuasaannya.
Popularitas pemerintah sepanjang lima tahun berkuasa sangat dipengaruhi
oleh kebijakan yang mereka hasilkan. Gambaran ini tampak betul jika melihat
ekspresi kepuasan publik terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf
Kalla.
Berdasarkan
hasil jajak pendapat yang dilakukan berkala setiap triwulan, apresiasi publik
terhadap kinerja pemerintah tampak terkait erat dengan fenomena sosial ekonomi
yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan pemerintah.
Sepanjang memerintah, fakta menunjukkan bahwa apresiasi publik terhadap kinerja
pemerintah di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan apresiasi terhadap bidang-bidang lainnya. Relatif lebih
rendahnya apresiasi publik ini terjadi pada setiap penetapan kebijakan tidak
populer, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor
pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat
Sebagai gambaran,
apresiasi publik pada pemerintah tampak merosot tajam pada periode setahun
pertama pemerintahan Yudhoyono. Pasalnya, kebijakan menaikkan harga BBM pada
bulan Oktober 2005 disambut publik dengan respons negatif. Jika hasil jajak
pendapat sebelum kebijakan kenaikan harga menunjukkan 48,1 persen responden
yang menyatakan puas atas kinerja pemerintah di bidang ekonomi, tiga bulan
berikutnya hanya 32,4 >Fenomena lain menunjukkan, melorotnya apresiasi
publik terhadap kinerja pemerintah terus terjadi selama tiga tahun pertama. Di
bidang ekonomi, titik terendah penilaian publik terjadi pada bulan ke-42. Pada
saat itu, hanya 27,3 persen yang menyatakan kepuasan mereka.
Bidang perekonomian memang menjadi batu ujian bagi kinerja pemerintahan. Data makro, seperti pertumbuhan ekonomi, apabila di periode tiga bulan terakhir pada tahun 2004 sempat tercatat 6,4 persen, pada bulan-bulan berikutnya melorot ke angka 4,6 persen.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin pada tahun pertama pemerintahan tercatat 36,1 juta jiwa atau 16,6 persen, sempat meningkat menjadi 17,8 persen pada tahun 2006.
Demikian pula kebijakan impor beras terjadi di awal tahun 2006, yang membawa persoalan bagi para petani akibat harga gabah a 16pt;">Ketika pemerintah masih berkutat pada persoalan melemahnya kondisi ekonomi, krisis ekonomi global terjadi. Segenap aktivitas perekonomian pun dihadapi bayang-bayang kelesuan. Apa daya, pertumbuhan ekonomi Indonesiapada triwulan ketiga tahun 2009 hanya mampu mencapai poin 4,2 persen. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (Maret 2009) mencatat, angka pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 9,26 juta jiwa atau 8,14 persen dari total penduduk usia kerja.
Bidang perekonomian memang menjadi batu ujian bagi kinerja pemerintahan. Data makro, seperti pertumbuhan ekonomi, apabila di periode tiga bulan terakhir pada tahun 2004 sempat tercatat 6,4 persen, pada bulan-bulan berikutnya melorot ke angka 4,6 persen.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin pada tahun pertama pemerintahan tercatat 36,1 juta jiwa atau 16,6 persen, sempat meningkat menjadi 17,8 persen pada tahun 2006.
Demikian pula kebijakan impor beras terjadi di awal tahun 2006, yang membawa persoalan bagi para petani akibat harga gabah a 16pt;">Ketika pemerintah masih berkutat pada persoalan melemahnya kondisi ekonomi, krisis ekonomi global terjadi. Segenap aktivitas perekonomian pun dihadapi bayang-bayang kelesuan. Apa daya, pertumbuhan ekonomi Indonesiapada triwulan ketiga tahun 2009 hanya mampu mencapai poin 4,2 persen. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (Maret 2009) mencatat, angka pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 9,26 juta jiwa atau 8,14 persen dari total penduduk usia kerja.
Sasaran Pembangunan Ekonomi Pada Pemerintahan SBY
Tak pelak, sejumlah
target dan janji pemerintahan Yudhoyono, seperti yang ditetapkan pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009, pada persoalan perekonomian dan
kesejahteraan kurang dapat terpenuhi.
Di sisi lain, kecenderungan melemahnya apresiasi publik atas kinerja pemerintah di bidang nonekonomi juga terjadi. Namun, jika penurunan apresiasi publik di bidang ekonomi terjadi semenjak tahun pertama jalannya pemerintahan, di bidang nonekonomi, seperti penegakan hukum, politik, dan keamanan, terjadi setelah dua tahun usia pemerintahan.
Di bidang hukum, penilaian positif publik terhadap pemerintahan SBY secara konsisten disampaikan oleh lebih dari separuh responden selama 18 bulan pertama. Boleh jadi hal demikian dipicu oleh komitmen Yudhoyono di awal pemerintahannya untuk membenahi persoalan hukum di negeri ini.
Pemberantasan korupsi adalah agenda yang mendapat sorotan paling tinggi. Semangat memberantas korupsi di awal pemerintahan langsung diartikulasikan dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Disusul kemudian dengan pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lewat Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 yang ditandatangani Presiden Yudhoyono, 2 Mei 2005.
Selama 100 hari pertama pemerintahan, Presiden memberikan izin kepada Polri dan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki dan memeriksa sedikitnya 35 pejabat negara. Selama satu tahun pertama jumlah kasus pada tahap pendakwaan yang selesai ditangani Kejaksaan Agung meningkat dari 586 kasus pada tahun 2004 menjadi 637 kasus pada tahun 2005.
Sayangnya, memasuki tahun ketiga, apresiasi atas kinerja bidang hukum beralih dan terus melorot. Terungkapnya sejumlah skandal aparat hukum yang terlibat korupsi mencoreng citra pemerintah dan boleh jadi merupakan faktor yang menggiring meningkatnya persepsi negatif publik atas kinerja aparat hukum.
Begitulah, gencarnya pemberitaan media soal aparat yang seharusnya menjadi ujung tombak penegakan hukum, tetapi malah terlibat dalam lingkaran korupsi, meredupkan kepercayaan publik pada pemerintah.
Menariknya, redupnya kepercayaan publik terhadap pemerintah terjadi pula di bidang persoalan lain, seperti halnya politik dan keamanan. Sekalipun kondisi politik dan keamanan relatif stabil, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ini turut melorot.
Tampaknya ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah di bidang perekonomian dan hukum turut memengaruhi kadar kepuasan mereka terhadap kinerja pemerintah secara keseluruhan.
Titik balik
Bagi pemerintah, tidak selamanya keterpurukan dialami. Setahun menjelang berakhirnya periode limatahun kepemimpinannya, sekonyong-konyong terjadi peningkatan apresiasi publik yang sangat signifikan terhadap kinerja pemerintah.
Lagi-lagi, kebijakan pemerintah tampak memengaruhi apresiasi publik. Di bidang ekonomi, yang sebelumnya menjadi persoalan yang utama penurunan apresiasi malah justru terdongkrak paling signifikan dibandingkan dengan bidang-bidang lain.
Di sisi lain, kecenderungan melemahnya apresiasi publik atas kinerja pemerintah di bidang nonekonomi juga terjadi. Namun, jika penurunan apresiasi publik di bidang ekonomi terjadi semenjak tahun pertama jalannya pemerintahan, di bidang nonekonomi, seperti penegakan hukum, politik, dan keamanan, terjadi setelah dua tahun usia pemerintahan.
Di bidang hukum, penilaian positif publik terhadap pemerintahan SBY secara konsisten disampaikan oleh lebih dari separuh responden selama 18 bulan pertama. Boleh jadi hal demikian dipicu oleh komitmen Yudhoyono di awal pemerintahannya untuk membenahi persoalan hukum di negeri ini.
Pemberantasan korupsi adalah agenda yang mendapat sorotan paling tinggi. Semangat memberantas korupsi di awal pemerintahan langsung diartikulasikan dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Disusul kemudian dengan pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lewat Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 yang ditandatangani Presiden Yudhoyono, 2 Mei 2005.
Selama 100 hari pertama pemerintahan, Presiden memberikan izin kepada Polri dan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki dan memeriksa sedikitnya 35 pejabat negara. Selama satu tahun pertama jumlah kasus pada tahap pendakwaan yang selesai ditangani Kejaksaan Agung meningkat dari 586 kasus pada tahun 2004 menjadi 637 kasus pada tahun 2005.
Sayangnya, memasuki tahun ketiga, apresiasi atas kinerja bidang hukum beralih dan terus melorot. Terungkapnya sejumlah skandal aparat hukum yang terlibat korupsi mencoreng citra pemerintah dan boleh jadi merupakan faktor yang menggiring meningkatnya persepsi negatif publik atas kinerja aparat hukum.
Begitulah, gencarnya pemberitaan media soal aparat yang seharusnya menjadi ujung tombak penegakan hukum, tetapi malah terlibat dalam lingkaran korupsi, meredupkan kepercayaan publik pada pemerintah.
Menariknya, redupnya kepercayaan publik terhadap pemerintah terjadi pula di bidang persoalan lain, seperti halnya politik dan keamanan. Sekalipun kondisi politik dan keamanan relatif stabil, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ini turut melorot.
Tampaknya ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah di bidang perekonomian dan hukum turut memengaruhi kadar kepuasan mereka terhadap kinerja pemerintah secara keseluruhan.
Titik balik
Bagi pemerintah, tidak selamanya keterpurukan dialami. Setahun menjelang berakhirnya periode limatahun kepemimpinannya, sekonyong-konyong terjadi peningkatan apresiasi publik yang sangat signifikan terhadap kinerja pemerintah.
Lagi-lagi, kebijakan pemerintah tampak memengaruhi apresiasi publik. Di bidang ekonomi, yang sebelumnya menjadi persoalan yang utama penurunan apresiasi malah justru terdongkrak paling signifikan dibandingkan dengan bidang-bidang lain.
Prioritas Pembangunan ekonomi Indonesia pada
periode SBY
Keputusan
pemerintah menurunkan harga BBM pada Desember 2008 menjadi titik kunci
peningkatan popularitas pemerintahan Yudhoyono. Hasil pengumpulan opini publik
pada bulan ke-51 pemerintahan Yudhoyono menunjukkan, hampir 60 persen responden
yang menyatakan kepuasan mereka atas kinerja perekonomian. Padahal, dalam
survei tiga bulan sebelumnya, kurang dari separuh responden yang menyampaikan
apresiasi serupa.
Momentum positif semacam ini terus berlanjut hingga tahun terakhir usia pemerintahannya. Berbagai kebijakan di bidang perekonomian, seperti kebijakan bersifat populis yang mencoba mengangkat keterpurukan ekonomi rakyat miskin, semakin memperkuat citra pemerintah.
Tatkala tahun 2009 perhatian masyarakat tersorot pada pesta demokrasi, Yudhoyono memetik buah kebijakannya. Peningkatan citra Yudhoyono berimbas pada meningkatnya apresiasi publik pada pemerintahan yang dipimpinnya. Apresiasi positif publik mencapai titik tertinggi pada usia pemerintahan di bulan ke-57, Juli 2009. Saat itu proporsi publik yang merasa puas pada kinerja pemerintah rata-rata di atas 70 persen.
Kemampuan membalikkan keadaan, dari keterpurukan penilaian menjadi peningkatan apresiasi publik semacam ini, menjadi kunci keberhasilan pemerintahan Yudhoyono. Sekalipun kondisi aktual bisa jadi tidak selalu sama dengan apa yang dipersepsikan publik, tampaknya pemerintah berhasil memikat hati rakyatnya. Kondisi semacam ini pula yang membedakan antara penilaian publik terhadap pemerintah saat ini dan sebelumnya.
Ketika era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri berlangsung, sebenarnya fenomena penurunan apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah juga berlangsung dari tahun ke tahun. Namun, pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, penurunan apresiasi publik terus-menerus terjadi hingga masa jabatan kepresidenannya diakhiri tanpa adanya titik balik peningkatan.
Presiden Megawati Soekarnoputri pun mengalami nasib sama sekalipun pada bulan-bulan terakhir kepemimpinannya apresiasi publik menunjukkan peningkatan. Hanya saja, peningkatan apresiasi publik yang diraihnya tidak cukup mampu memberikan momentum politik untuk mengangkatnya kembali menjadi presiden.
Momentum positif semacam ini terus berlanjut hingga tahun terakhir usia pemerintahannya. Berbagai kebijakan di bidang perekonomian, seperti kebijakan bersifat populis yang mencoba mengangkat keterpurukan ekonomi rakyat miskin, semakin memperkuat citra pemerintah.
Tatkala tahun 2009 perhatian masyarakat tersorot pada pesta demokrasi, Yudhoyono memetik buah kebijakannya. Peningkatan citra Yudhoyono berimbas pada meningkatnya apresiasi publik pada pemerintahan yang dipimpinnya. Apresiasi positif publik mencapai titik tertinggi pada usia pemerintahan di bulan ke-57, Juli 2009. Saat itu proporsi publik yang merasa puas pada kinerja pemerintah rata-rata di atas 70 persen.
Kemampuan membalikkan keadaan, dari keterpurukan penilaian menjadi peningkatan apresiasi publik semacam ini, menjadi kunci keberhasilan pemerintahan Yudhoyono. Sekalipun kondisi aktual bisa jadi tidak selalu sama dengan apa yang dipersepsikan publik, tampaknya pemerintah berhasil memikat hati rakyatnya. Kondisi semacam ini pula yang membedakan antara penilaian publik terhadap pemerintah saat ini dan sebelumnya.
Ketika era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri berlangsung, sebenarnya fenomena penurunan apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah juga berlangsung dari tahun ke tahun. Namun, pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, penurunan apresiasi publik terus-menerus terjadi hingga masa jabatan kepresidenannya diakhiri tanpa adanya titik balik peningkatan.
Presiden Megawati Soekarnoputri pun mengalami nasib sama sekalipun pada bulan-bulan terakhir kepemimpinannya apresiasi publik menunjukkan peningkatan. Hanya saja, peningkatan apresiasi publik yang diraihnya tidak cukup mampu memberikan momentum politik untuk mengangkatnya kembali menjadi presiden.
Catatan Empat Tahun
Kinerja Perekonomian Pemerintahan SBY – JK
Empat Tahun pemerintahan SBY – JK, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami
pasang surut. Diawal pemerintahan pada Oktober 2004 hingga tahun 2006,
pemerintahan SBY – JK (berkaca pada pencapaian pertumbuhan tahun 2005 dan 2006)
mensia-siakan momentum percepatan pertumbuhan yang telah diwariskan oleh
pemerintahan sebelumnya (Megawati Soekarno Putri). Stabilitas Ekonomi dan
Akselerasi Perekonomian yang telah dicapai oleh pemerintahan Megawati tidak
dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintahan SBY – JK untuk melakukan
pencapaian percepatan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2007, momentum percepatan
sudah kembali hadir yang dapat dilihat pada pencapaian target pertumbuhan
mencapai 6.3 persen meskipun kondisi ini masih sangat riskan dipertahankan
dengan memperhatikan gejolak global (kenaikan harga minyak dan komoditas
pangan) yang sedang terjadi di akhir-akhir penghujung tahun 2007 hingga saat
ini dan juga bergantung ketahanan perekonomian domestik Indonesia sendiri.
Momentum yang relatif sudah kembali ini, akan dapat dipertahankan apabila
kondisi menyeluruh perekonomian yang dicapai dengan pencapaian pertumbuhan 6.3
persen pada tahun 2007 mampu bertahan kokoh menghadapi gejolak eksternal
(global) yang sedang terjadi hingga tahun 2008.
Apabila kita berkaca pada pencapaian pemerintahan Megawati yang mampu
menciptakan stabilitas ekonomi serta akselerasi pertumbuhan yang konsisten dan
tidak disia-siakan oleh pemerintahan SBY di dua tahun awal pemerintahannya,
maka pencapaian target pertumbuhan pada RPJM sebesar 7.2 persen pada tahun 2007
tidak tak mungkin dapat teralisasi.
Gejolak
perekonomian global yang dimulai dengan kasus sub-prime mortage di Amerika
Serikat, bergejolaknya harga minyak dunia dan beberapa komoditas pangan serta
krisis finansial global yang sedang terjadi menjadi tantangan berat bagi
pemerintahan sekarang untuk melanjutkan momentum pertumbuhan yang sudah kembali
tersebut. Keberlanjutan momentum ini juga tergantung pada kualitas dan besarnya
daya tahan perekonomian yang tercipta hingga tahun 2007 yang silam. Apabila
kualitas dan daya tahan perekonomian tidak tereflesikan secara simetris dengan
angka pencapaian pertumbuhan yang relatif baik hingga akhir tahun 2007, maka
kondisi perekonomian Indonesia sangatlah rawan rontok dalam menghadapi imbas
gejolak eksternal yang sedang terjadi.
Sektor Yang Menjadi
Prioritas
Selama empat tahun terakhir, pola pertumbuhan sektoral masih
menunjukkan kesenjangan yang masih cenderung lebar antara sektor tradable dan
non-tradable. Pertumbuhan sektor tradable yang relatif jauh dibawah pertumbuhan
PDB, sebaliknya pertumbuhan non-tradable yang selalu jauh diatas pertumbuhan
PDB.
Sektor yang mencapai pertumbuhan terbesar pada sektor non –
tradable adalah sektor Transportasi dan Komunikasi yang mencapai rata-rata
hampir 14 persen pada empat tahun terakhir. Sedangkan di sektoral tradable,
sektor manufaktur memiliki pertumbuhan tertinggi secara rata-rata pada 4 tahun
terakhir.
Pola pertumbuhan sektor yang menunjukkan kesenjangan yang cenderung semakin
melebar menimbulkan suatu kejadian anomali ekonomi. Dimana kondisi kesenjangan
Sektoral tradable dan non-tradable lazimnya terjadi di negara-negara yang sudah
melalui tahapan industrialisasi yang matang, sementara Indonesia masih dalam
tahap pematangan di tahap industrialisasi. Pada proses pematangan
industrialisasi, peranan sektor manufaktur masih bisa dipacu hingga 35 hingga 40
persen dari PDB, akan tetapi kondisi yang terjadi di Indonesia peranan sektor
manufaktur masih dibawah 30 persen. Bahkan peranan sektor manufaktur memiliki
kecenderungan stagnan dan pada tahun 2007 lalu mengalami penerunan meskipun
penerunannya tidak terlalu besar. Kecenderungan stagnasi dan menurunnya sektor
manufaktur mengiindikasikan adanya tanda-tanda Indonesia mengalami
de-industrialisasi dini.
Kondisi kecenderungan makin melebarnya kesenjangan sektor tradable dan
non-tradable dan stagnan serta relatif kecenderungan menurunnya sektor
manufaktur menandakan kualitas pertumbuhan sektoral tidak optimal, sehingga
sangat sulit diharapkan memberikan dampak berarti bagi pengurangan angka
kemiskinan dan pengangguran serta pemerataan pendapatan.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar